Lanjut ke konten

Fenomena Soal “Multiple Choice” Dalam Ujian Nasional

22 Januari 2011

Sejak tahun 1997, ujian nasional khususnya SMU/MA berben­tuk “multiple choice” atau pilihan ganda semua. Di tengah gencar-gencarnya para kritikus mengemukakan pendapat bahwa di antara penyebab lemahnya sumber daya manusia hasil pendidikan kita adalah terbiasanya menggunakan soal-soal pilihan ganda, dewasa ini justru dikembangkan dan menjadi kebanggaan.

Banyak praktisi pendidikan berpen­dapat bahwa soal-soal ujian 30 tahun yang lalu jauh lebih bermutu dibandingkan sekarang ini. Namun benar atau salah pendapat ini belum ada ketegasan. Memang, diakui atau tidak adanya soal berbentuk pilihan ganda sangat me­mungkinkan para siswa cenderung main asal menjawab, untung-untungan. Ka­lau kita tinjau secara detail soal berben­tuk “multiple choice” memang sangat fenomenal dan menarik untuk disimak. Mengapa? Mari kita lihat dampak dari terbiasanya penerapan soal-soal ulangan umum maupun ujian nasional berbentuk “multiple choice”.

Pertama siswa kurang merasa termo­tivasi belajar untuk memahami bahan ajar. Mereka lebih suka mengandalkan hafalan sekilas tanpa perlu memahami materi tersebut secara utuh. Rasa kuatir tak bisa menjawab soal agaknya tidak ada pada diri siswa. Mereka tenang dengan bekal seadanya toh nanti bisa menjawab rampung 100%. Pikiran seperti inilah yang membelenggu sehingga siswa belajar hanya sepotong­-sepotong.

Kedua siswa terbiasa main spekulasi. Olah tebak dari 4 alternatif jawaban menjadi kebiasaan dalam menghadapi ulangan umum atau ujian nasional. Kebiasaan ini menumbuhkan model-model spe­kulasi tanpa nalar yang logis. Misalnya menghitung kancing baju, menghitung bunyi tokek, burung tekukur dan lain-lain. Pendapat siswa lewat kalimat tak pernah muncul di permukaan. Hal ini disebabkan soal-soalnya yang selalu tertutup. Keadaan yang demikian ini masih diperburuk oleh kedalaman materi yang hanya seputar jenjang hafalan atau pengertian dan paling dalam pada jenjang pemahaman.

Ketiga siswa merasa mudah untuk menyontek hasil kerja temannya. Atau secara terang-terangan minta jawaban kepada temannya. Tidak sulit mengelabuhi pengawas yang hanya duduk di depan itu karena bibir pemberi petunjuk cukup menjawab A, B, C, atau D saja. Karena suasana yang memberi kemudahan untuk menyontek, mem­buat siswa yang malas belajar merasa mudah menggantungkan teman-teman­nya. Terlebih bagi yang nomor ujian nasionalnya di belakang atau di depan temannya yang pandai, tingkat keter­gantungannya semakin besar.

Untuk mengyontek memang suasa­nanya sangat memungkinkan. Cukup sekilas melihat nomor dan huruf yang dihitamkan dengan pensil 2 B milik teman dekatnya. Itu saja, selesai. Bayangkan kalau jawaban itu berbentuk uraian panjang akan merasa sukar dan membutuhkan waktu lama untuk me­nyontek hasil kerja teman.

Keempat siswa tidak terdidik menge­mukakan pendapat dengan kalimat yang betul. Terlebih lagi soal ujian nasional bahasa Indonesia yang menghilangkan soal mengarang, sungguh sangat ironis. Ruang yang baik sekali untuk mencu­rahkan daya kreatif, imajinatif dan ketrampilan berkomunikasi (berbahasa) justru dihapus begitu saja. Dengan demikian akhimya tak ada ruang bagi siswa untuk menyalurkan daya kreatif, imajinatif dan ketrampilan berbaha­sanya.

Kelima guru pun terimbas oleh soal berpola “multiple choice” ini. Dalam memberi penjelasan materi kepada siswanya guru terpancang dan terpaku pada materi-materi praktis yang sering muncul dalam soal-soal ulangan umum maupun ujian nasional. Memahirkan siswa dalam menebak soa-soal ujian nasional yang akan keluar menjadi tuntutan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Akhimya guru ikut-ikutan menomorduakan pemahaman materi secara bulat dan utuh kepada siswa karena terjebak target materi yang sering muncul dalam soa-l­soal ujian nasional. Andalan bagi guru untuk menyiasati keadaan semacam ini biasanya siswa didril dengan soal-soal ujian nasional tahun sebelumnya. Ujungnya konsep-konsep, dalam suatu bahasa materi sering terasa kurang terurai bahkan ada bagian yang lepas. Ini sesuatu yang sebenamya tidak boleh terjadi.

Keenam hasil kerja dari soal bentuk “multiple choice” secara individual belum dapat digunakan sebagai pem­beda yang handal. Banyak contoh siswa yang biasanya santai, acuh terhadap materi ajar, ogah-ogahan dan malas belajar justru mempunyai jumlah nilai ujian nasional yang lebih tinggi atau nilai mata pelajaran tertentu lebih tinggi dari pada temannya yang biasanya jauh di atas siswa tersebut.

Dari contoh ini ada 2 kemungkinan sikap siswa tersebut. Kemungkinan pertama memang siswa tersebut mem­persiapkan belajar dengan betul. Ke­mungkinan kedua menjawab dengan ngawur tetapi betul. Jika dia ngawur dan betul maka dia lebih untung dari pada siswa yang memeras pikiran dan ja­wabannya betul. Nah kalau demikian lalu apa artinya pemberian soal ujian nasional itu? Untuk apa diberikan soal tadi? Kalau gagal membedakan hasil kerja keras dalam belajar dengan kerja ngawur, tidakkah perlu ditinjau kembali soal-soal bentuk multiple choice?

Harapan Masa Depan

Soal ujian nasional tentunya dapat digu­nakan sebagai sarana untuk memper­oleh hasil yang tidak keliru dalam mengambil keputusan terhadap kerja belajar siswa. Artinya dapat digunakan untuk memilih siswa yang benar-benar mengerjakan dengan pikirannya dan ja­waban betul. Nah untuk itu perlu dicari alternatif bentuk-bentuk soal yang sekiranya siswa tidak mebabi buta secara ngawur serta adanya metode penilaian yang tegas.

Alternatif tersebut adalah:

Pertama bentuk soal sebagian mul­tiple choice dan sebagian esay. Materi soal tidak hanya pada tingkat hafalan melulu. Penilaian jawaban multiple choice menggunakan sistem denda terhadap jawaban yang salah. Hal ini bertujuan agar siswa memperhitungkan untung ruginya dalam menjawab soal yang tidak yakin kebenaran jawab­annya. Harapannya siswa tidak lagi mentang-mentang asal menjawab A, B, C atau D. Misalnya jumlah soal 50 butir, masing-masing nomor mendapat skor nilai 1 maka jika menjawab semua tetapi salah 10 nilainya = 50 – 10 = 40 dan didenda 10 sehingga menjadi 40 – 10 = 30. Padahal 10 soal yang sulit tadi jika tak dijawab dan yang lain benar maka nilainya = 50 – 10 = 40.

Dengan demikian ngawur akan menjadi sesuatu yang perlu dihindari. Ini penting, karena mendidik siswa untuk tidak membiasakan kerja ngawur, main spekulasi tanpa didasari nalar yang logis. Akan tumbuh mental yang teguh pendirian tidak mudah goyah sekalipun melihat hasil kerja temannya tidak cepat-cepat asal menyontek saja.

Untuk soal esay sebaiknya yang memerlukan jawaban proses. Misalnya mengapa air bisa naik sampai ke daun yang tingginya 40 meter di atas per­mukaan tanah? Tujuannya agar siswa  terbiasa belajar secara menyeluruh, utuh dan bulat dalam suatu tema tidak terpotong-potong. Pertanyaan yang hanya dengan apa, berapa, sebutkan serta melengkapi dengan isian istilah tidak membutuhkan daya kreatif pemi­kiran siswa dalam arti luas.

Kedua bentuk soal esay semua dengan jumlah soal tidak terlalu banyak yaitu 10 – 15 soal saja. Soal esay akan memacu siswa untuk belajar memahami bukan sekedar menghafal seperti dewasa ini. Dari belajar memahami akan terbiasa menyerap apa saja yang dijumpai. Tak pelak, dalam kehidupan yang penuh aplikasi ini akan dengan mudah dipahami siapa saja yang pernah menjadi siswa dengan baik, dan banyak melakukan tugas-tugas yang memer­lukan bukan hanya hafalan. Pertanyaan bagaimana menjalankan traktor di sawah itu lebih penting dari pada sekedar menyebutkan bagian-bagian traktor tersebut. Ini merupakan pendi­dikan yang sederhana tetapi mengena bagi kemandirian dan kepercayaan diri siswa.

Kiranya sudah sampai waktunya bahwa semua tindakan selalu dikaitkan dengan ada tidaknya unsur pendidikan. Termasuk pembuatan soal-soal ujian nasional agar tidak hanya untuk memperoleh hasil nilai yang dilambangkan dengan angka-angka itu. Tidak hanya itu, mengi­ngat evaluasi belajar masih merupakan bagian dari pendidikan. Semoga.

Sumber : guru on line on facebook

No comments yet

Tinggalkan komentar